A. Gambaran Umum
CUSTOMS (Instansi Kepabeanan) di mana pun di dunia ini adalah suatu
organisasi yang keberadaannya amat essensial bagi suatu negara, demikian
pula dengan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (Instansi Kepabeanan
Indonesia) adalah suatu instansi yang memiliki peran yang cukup penting
dari negara dalam melakukan tugas dan fungsinya untuk :
-
Melaksanakan tugas titipan dari instansi-instansi lain yang
berkepentingan dengan lalu lintas barang yang melampaui batas-batas
negara;
- Memungut bea masuk dan pajak dalam rangka impor secara maksimal untuk kepentingan penerimaan keuangan negara.
B. Peran Kebijakan Fiskal di Bidang Kepabeanan
Seperti diketahui bahwa perkembangan perdagangan internasional, baik
yang menyangkut kegiatan di bidang impor maupun ekspor akhir-akhir ini
mengalami kemajuan yang sangat pesat. Pesatnya kemajuan di bidang
tersebut ternyata menuntut diadakannya suatu sistem dan prosedur
kepabeanan yang lebih efektif dan efisien serta mampu meningkatkan
kelancaran arus barang dan dokumen. Dengan kata lain, masalah birokrasi
di bidang kepabeanan yang berbelit-belit merupakan permasalahan yang
nantinya akan semakin tidak populer.
Adanya kondisi tersebut,
tentunya tidak terlepas dari pentingnya pemerintah untuk terus melakukan
berbagai kebijaksanaan di bidang ekonomi terutama dalam meningkatkan
pertumbuhan perekonomian nasional. Apalagi dengan adanya berbagai
prakarsa bilateral, regional, dan multilateral di bidang perdagangan
yang semakin diwarnai oleh arus liberalisasi dan globalisasi perdagangan
dan investasi, sudah barang tentu permasalahan yang timbul di bidang
perdagangan akan semakin kompleks pula.
Perubahan-perubahan pada
pola perdagangan internasional yang menggejala dewasa ini pada akhirnya
akan memberikan peluang yang lebih besar bagi negara maju untuk
memenangkan persaingan pasar. Disamping itu, pola perdagangan juga akan
berubah pada konteks Borderless World, atau paling tidak pada nuansa
liberalisasi perdagangan dan investasi dimana barriers atas perdagangan
menjadi semakin tabu.
Untuk itu, kebijaksanaan Pemerintah dengan
disahkannya UU No.10/1995 tentang Kepabeanan yang telah berlaku secara
efektif tanggal 1 April 1997, yang telah direvisi dengan UU No. 17/2006
tentang perubahan Undang-Undang Kepabeanan, jelas merupakan langkah
antisipatif yang menyentuh dimensi strategis, substantif, dan essensial
di bidang perdangangan, serta diharapkan mampu menghadapi
tantangan-tantangan di era perdagangan bebas yang sudah diambang pintu.
Pemberlakuan UU No.10/1995 tentang Kepabeanan juga telah memberikan
konsekuensi logis bagi DJBC berupa kewenangan yang semakin besar sebagai
institusi Pemerintah untuk dapat memainkan perannya sesuai dengan
lingkup tugas dan fungsi yang diemban, dimana kewenangan yang semakin
besar ini pada dasarnya adalah keinginan dari para pengguna jasa
internasional ( termasuk dengan tidak diberlakukannya lagi pemeriksaan
pra-pengapalan atau pre-shipment inspection oleh PT. Surveyor Indonesia,
dan sepenuhnya dikembalikan kepada DJBC), yang nota bene bahwa
kewenangan tersebut adalah kewenangan Customs yang universal, serta
merupakan konsekuensi logis atas keikutsertaan Indonesia dalam
meratifikasi GATT Agreement maupun AFTA, APEC, dan lain-lain.
Berbagai langkah persiapan telah dan terus dilakukan dengan tetap
mempertimbangkan kerangka acuan yang diinginkan oleh ICC yang pada
dasarnya mengajukan kriteria-kriteria yang sebaiknya dimiliki oleh
Customs yang sifatnya modern.
Dengan beralihnya fungsi dan misi
dari Tax Collector menjadi Trade Facilitator , maka sebagai institusi
global, DJBC masa kini dan masa depan harus mampu memberikan pelayanan
kepada masyarakat umum yang bercirikan save time, save cost, sefety, dan
simple. Semua ciri tersebut harus menjadi bagian yang integral dari
sistem dan prosedur kepabeanan, jika DJBC ingin berperan dalam upaya
pembangunan ekonomi secara umum dalam era persaingan yang semakin tajam,
era liberalisasi perdagangan dan investasi serta globalisasi dalam arti
seluas-luasnya.
Sejalan dengan itu, semakin beragamnya
sentra-sentra pelayanan baik dari segi perlindungan terhadap
Intellectual Property Rights, anti dumping, anti subsidi, self
Assessment, maka secara ringkas DJBC diharapkan dapat do more with less (
berbuat lebih banyak dengan biaya lebih rendah ). DJBC juga dituntut
untuk melakukan pelayanan yang time sensitive, predictable, available (
saat dibutuhkan ) dan adjustable.
Totalitas pelayanan ini
kerangka dasarnya bersumber pada fenomena speed dan flexibility sebagai
formula penting. Hal yang terpenting adalah bagaimana mengubah visi masa
lalu yang amat dominan bahwa revenue collection dan law enforcement
akan selalu mengakibatkan terhambatnya arus barang sehingga akan
menimbulkan High Cost Economy yang pada konsekuensi selanjutnya
mengakibatkan produk-produk dalam negeri tidak mampu bersaing di area
perdagangan internasional. Selain itu, perlu juga diketahui bahwa
bussiness operation akan semakin tergantung pada performance Customs
dimanapun. Effisiensi usaha mereka juga tergantung pada mutu dan
kecepatan pelayanan Customs.
Kegagalan Bea dan Cukai dalam
menekan High Cost Economy tidak saja akan mengakibatkan kegagalan
ekonomi Indonesia untuk menjerat oppotunity, mengubah keuntungan
komparatif menjadi keuntungan kompetitif, tetapi juga secara substansial
dapat mengakibatkan larinya para investor yang semula akan melakukan
investasinya di Indonesia dengan segala implikasi ekonomis negatif
lainnya.
Keinginan dan tuntutan dari para pengguna jasa
internasional tersebut adalah syarat mutlak yang harus dipenuhi, dan
sudah menjadi kewajiban moral bagi DJBC untuk melakukan berbagai
perubahan yang cukup mendasar, baik dari segi penyempurnaan organisasi
dan tatalaksana DJBC, simplifikasi dan sekaligus transparansi sistem dan
prosedur Kepabeanan, serta pengembangan kualitas sumber daya manusia,
sehingga diharapkan nantinya terdapat suatu keselarasan dengan jiwa dan
kepentingan dari UU Kepabeanan itu sendiri.
Sebagai produk hukum
nasional yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945, maka bentuk UU
Kepabeanan yang bersifat proaktif dan antisipatif ini sangatlah
sederhana namun memiliki jangkauan yang lebih luas dalam mengantisipasi
terhadap perkembangan perdagangan internasional.
Hal-hal baru
berupa kemudahan di bidang kepabeanan juga diatur, seperti penerapan
sistem self Assessment, dan Post entry Audit yang merupakan back-up
sistem atas sistem self Assessment. Post audit yang tidak lain bertujuan
untuk mengetahui tingkat kepatuhan dari para pengguna jasa, ternyata
juga mampu berperan ganda yaitu mengoptimalkan penerimaan negara dan
meningkatkan kelancaran arus barang.
Disamping itu, untuk
memberikan alternatif kepada para pengguna jasa dalam penyerahan
pemberitahuan pabean, diterapkan pula EDI-system atau yang lebih dikenal
dengan Electronic Data Interchange.
Adanya kemudahan-kemudahan
di bidang kepabeanan ini juga telah menunjukkan kesungguhan DJBC untuk
benar-benar serius dalam melakukan reposisi peran dan fungsinya dalam
meningkatkan kualitas kualitas pelayanan, khususnya kepada para pengguna
jasa kepabeanan.